KANTOR BERITA – Fenomena wisuda di jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Citra Bangsa Mandiri Puwokerto akhir-akhir ini kian menarik perhatian.
Bukan karena capaian kurikulum atau prestasi siswa, melainkan karena penyelenggaraan prosesi wisuda yang meniru secara vulgar model wisuda perguruan tinggi. Lengkap dengan pemakaian gordon, samir ala guru besar, bahkan pengucapan “Sidang Senat Terbuka”, banyak pihak mulai mempertanyakan: ke mana arah pemahaman institusi pendidikan tentang jenjang akademik dan etika simbol?
Butuh Pelurusan
Mari kita luruskan sejak awal: setiap jenjang pendidikan memang berhak untuk merayakan kelulusan siswanya. Namun, ketika perayaan itu mulai mengimitasi simbol-simbol akademik tinggi secara serampangan, maka kita sedang menghadapi problem serius yaitu degradasi makna.
Simbol akademik seperti toga, samir, dan istilah “senat akademik” bukanlah ornamen dekoratif semata. Ia memiliki struktur filosofis dan legitimasi akademik.
Senat akademik, misalnya, adalah organ formal dalam perguruan tinggi yang terdiri dari guru besar dan doktor, dengan wewenang akademik yang tidak dimiliki oleh SMK. Menyematkan gelar “sidang senat terbuka” dalam konteks SMK adalah bentuk kekeliruan epistemik dan bahkan bisa dianggap sebagai pembodohan simbolik.
Simbolisasi Akademik
Fenomena ini tidak hanya menunjukkan kekeliruan dalam pemahaman struktur akademik, tetapi juga merupakan bentuk distorsi simbolik yang merendahkan kesakralan dan makna akademik dari prosesi wisuda di jenjang pendidikan tinggi. Penggunaan simbol akademik tinggi tanpa legitimasi adalah bentuk inflasi simbolik yang menciptakan ilusi prestise tanpa isi.
Fenomena ini mencerminkan dua hal: (1) rendahnya literasi akademik para penyelenggara institusi menengah, dan (2) obsesi berlebihan terhadap seremoni simbolik tanpa substansi. Kita tidak sedang berbicara soal kemegahan acara, tapi tentang kesadaran struktural terhadap posisi dan jenjang pendidikan.
Bukan berarti siswa SMK tidak layak dirayakan. Justru sebaliknya. Kelulusan mereka patut dihargai secara kontekstual dengan format yang sesuai dengan karakter pendidikan vokasional. Bukan dengan mengkopi seremoni universitas, yang dalam dunia akademik memiliki legitimasi panjang dan bertumpu pada keilmuan.
Jika dibiarkan, fenomena ini akan membentuk generasi yang tidak lagi memahami esensi simbol akademik. Ketika segala hal bisa disalin dan disematkan tanpa proses yang sah, maka pendidikan kehilangan wibawa sebagai institusi yang menjunjung hierarki pengetahuan.
Butuh Tindakan Responsif
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya merespons ini dengan pedoman normatif yang tegas. Tradisi boleh dikembangkan, tetapi bukan dengan cara mencederai simbol dan struktur akademik yang sudah terbangun berabad-abad.
Karena pada akhirnya, bukan sekadar seragam dan samir yang membuat seseorang akademisi, tetapi proses panjang keilmuan dan pengakuan institusional yang sah.
Acara wisuda-wisudaan itu sama dengan pernikahan anggota ormas yang meniru upacara Pedang Pora ala militer, gagahnya gak dapat dan yang lihat aja malu.
Untuk para orang tua siswa SMA/SMK jangan pernah berbangga dengan ilusi-ilusi seperti itu, kasihan putra-putrinya menjadi bahan pembicaraan yang ujungnya malah tidak membanggakan.***
Penulis: Prof.Dr. Oscarius Y.A Wijaya,M.Si.,M.H.,M.M.,CLI
Guru Besar Ilmu Manajemen pada Akademi Sekretari dan Manajemen Indonesia (ASMI) Surabaya