Kantorberita.net – Adik Ipar Jokowi Anwar Usman tidak setuju Mahkamah Konstitusi (MK) ketok palu menghapuskan aturan Presidential Threshold.
Sedangkan Presidential Threshold adalah ambang batas pencalonan presiden minimal jumlah kursi yang harus dimiliki oleh suatu partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilu legislatif untuk dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu.
Di Indonesia, Presidential Threshold atau ambang batas ini diatur dalam Undang-Undang Pemilu dan bertujuan untuk memastikan bahwa hanya partai politik atau koalisi partai yang memiliki dukungan yang cukup besar di parlemen yang dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Dalam praktiknya, Presidential Threshold di Indonesia ditetapkan sebesar 20% dari total kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25% dari suara sah nasional dalam pemilu legislatif yang sebelumnya.
Dengan kata lain, suatu partai atau koalisi yang ingin mencalonkan presiden dan wakil presiden harus mendapatkan minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya.
Keputusan MK Berani dan Tepat
Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow, mengungkapkan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) sebesar 20% dalam putusan nomor 62/PUU-XXI/2024 merupakan langkah yang berani dan tepat.
Menurutnya, saat pemilu presiden, calon wakil presiden, dan pemilu legislatif diselenggarakan secara serentak, maka ambang batas untuk pencalonan presiden dan wakil presiden seharusnya dihapuskan sama sekali.
Jeirry menilai bahwa adanya pengaturan yang tidak konsisten dalam sistem pemilu, di mana pemilu legislatif dan presiden diserentakan, tetapi Presidential Threshold tetap dipertahankan, bisa mengundang kejanggalan.
“Pemilu diserentakan, namun Presidential Threshold tidak dibuat nol, ini sedikit aneh,” ujar Jeirry di Jakarta pada 2 Januari 2025.
Jeirry juga menegaskan bahwa keputusan MK tersebut harus menjadi acuan bagi eksekutif dan legislatif, terlebih dengan adanya rencana besar untuk merevisi Undang-Undang Pemilu pada tahun ini.
Rencana tersebut termasuk pengintegrasian Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, Undang-Undang Pilkada, dan kemungkinan Undang-Undang Partai Politik.
Jeirry Sumampow mengkritik pembuatan banyak undang-undang yang seringkali lebih dipengaruhi oleh kepentingan kekuasaan daripada berdasarkan pada norma dan pengalaman aktual, terutama dalam konteks pemilu.
“Jangan sampai semangat seperti ini mendominasi pembuatan UU Pemilu, yang justru mengabaikan putusan MK dan malah menghasilkan norma baru yang bertentangan,” tegasnya.
Putusan MK ini juga berdampak pada proses verifikasi partai politik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jeirry mengatakan bahwa aturan mengenai partai politik dalam UU Partai Politik sudah cukup ketat, namun masalahnya ada pada proses verifikasi.
Menurutnya, verifikasi dalam pemilu sebelumnya penuh dengan dugaan manipulasi politik uang dan tidak cukup ketat, sehingga partai-partai yang kekuatannya tidak signifikan tetap lolos.
Hal ini tercermin dari hasil pemilu, di mana hanya ada delapan partai yang lolos ke parlemen pusat.
Verifikasi yang tepat, menurut Jeirry, menjadi kunci dalam menentukan kelayakan partai politik untuk ikut serta dalam pemilu mendatang.
Verifikasi ini juga akan mengukur sejauh mana sebuah partai memiliki dukungan hingga ke akar rumput.
Ia menambahkan bahwa para kader partai politik harus lebih serius dalam mengelola partainya, karena jika sebuah partai mencalonkan presiden tetapi tidak memiliki dukungan yang cukup, itu bisa menjadi masalah.
Keputusan MK ini juga menjadi tantangan bagi KPU untuk melakukan verifikasi yang ketat dan hanya meloloskan partai-partai yang benar-benar diterima oleh publik.
Anwar Usman Tidak Menyetujui Putusan M
Namun, tidak semua pihak mendukung putusan MK ini.
Salah satunya adalah Hakim Konstitusi Anwar Usman, yang merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo.
Anwar Usman, bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan perkara Nomor 62/PUU-XXI/2023 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden.
Menurut mereka, para Pemohon yang mengajukan uji materi terhadap ambang batas pencalonan presiden tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
Karena itu, Anwar Usman dan Daniel Yusmic berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak menerima permohonan tersebut.
Uji materi ini diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yang terdiri dari Rizki Maulana Syafei, Enika Maya Oktavia, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Dissenting opinion tersebut menyatakan bahwa permohonan para pemohon seharusnya tidak dapat diterima karena mereka tidak memiliki kedudukan hukum.***
Poto::
Hakim Konstitusi Anwar Usman (Jatim Network)