Melacurkan 4 anak dibawah umur, Yeyen Kardila dan Sandi Sanjaya Hanya Divonis Ringan

Kantor Berita – Kasus pelacuran terhadap 4 anak dibawah umur yang menjerat Yeyen Kardila dan Sandy Sanjaya melalui aplikasi MiChat membuka prostitusi online di Surabaya.

Sidang putusan dibuka untuk umum di Pengadilan Negeri Surabaya,(14/10/24) dengan agenda Putusan atau vonis.

Dalam dakwaan kedua terdakwa Yeyen Kardila dan Sandi sudah memenuhi unsur pidana dan dijerat dengan pasal pidana perdagangan orang dan tentang perlindungan anak.

Sedangkan Tuntutan JPU dari Kejaksaan Negeri Surabaya menjerat kedua terdakwa dengan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pada 14/10 Ketua Majelis Hakim Antyo Harri Susetyo di Ruang Tirta 2, pada Amar putusanya.

“Menjatuhkan Pidana oleh karenanya dengan pidana penjara selama 7 Bulan” ucap Antyo.

Terhadap putusan ini JPU kedua Sisca dari Kejari Surabaya menyatakan Menerima vonis majlis hakim ” terima kasih yang Mulia” ucap Sisca.

Yeyen Kardila dan Sandy Sanjaya divonis selama tujuh ( 7) Bulan Penjara.

Menurut jaksa Siska, kasus ini bermula ketika Yeyen merekrut kelima terdakwa untuk mencari pelanggan di aplikasi MiChat. Yeyen kemudian membawa mereka dari Palembang ke Surabaya, dimana mereka menetap di Apartemen BH yang terletak di Jalan Ir. Soekarno, Surabaya.

Kelima terdakwa tersebut adalah Sandy Sanjaya (21), Ardi Saputra (21), Ranu Safikri (21), Arpin Mahendra (21), dan Rusno Irawan (24). Mereka bekerja di bawah kendali seorang mucikari bernama Yeyen Kardila.

Yeyen sendiri bertugas mencari perempuan yang bersedia menjadi pekerja seks komersial (PSK), sementara lima terdakwa bertugas menawarkan jasa melalui MiChat. Tarif layanan berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 800 ribu per transaksi. Dari setiap transaksi, pembagiannya adalah sebagai berikut: PSK menerima Rp 125 ribu, joki mendapatkan Rp 75 ribu, dan Yeyen menerima Rp 100 ribu.

Pada Desember 2023, Viola Als Febi menemui Yeyen untuk menjadi PSK. Gadis berusia 16 tahun itu ditawari apabila mau melayani dengan berhubungan badan akan diberikan upah Rp150 – 200 ribu. Sementara, tarif tamu dipatok seharga Rp300 – 750 ribu.

Kemudian, di Januari 2024 Maya Puspita Sari Als Windi (Usia 16 tahun) diajak oleh Mirna ke Surabaya menemui Yeyen di Hotel Evora yang terletak di Jl.Menur No.18-20. Jika tarif tamu seharga Rp500 ribu. Pembagiannya, Maya diberi Rp300 ribu, Yeyen Rp50 ribu dan sisa uangnya untuk joki yang mencarikan tamu. Saat itu korban Maya menyetujui dan mengatakan hanya akan bekerja kepada Terdakwa 15 hari saja karena membutuhkan uang untuk pulang ke Sumatera Selatan.

Operasi ini berlangsung di beberapa hotel di Surabaya serta satu hotel di Malang. Aktivitas mereka berlangsung sejak Januari hingga Mei 2024, dengan apartemen BH sebagai markas operasi.

Kasus ini terungkap setelah Yeyen Kardila gagal membayar PSK sesuai dengan kesepakatan. Yeyen beralasan bahwa uang yang seharusnya diberikan kepada PSK telah habis digunakan untuk biaya makan, penginapan, dan transportasi. Selain itu, Yeyen juga melarang PSK keluar dari apartemen dan mengancam serta memukul mereka jika tidak menyerahkan bonus dari tamu.

Salah satu korban berhasil melarikan diri dan melaporkan tindakan Yeyen ke pihak berwajib, hingga terjadi penangkapan terhadap Yeyen beserta para jokinya.

Pasal yang dikenakan Oleh terdakwa, Yeyen Kardila dan sandy sanjaya memenuhi unsur pidana melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan pasal 80 UUD Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan Anak, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan atau penggunaan kekerasan untuk tujuan eksploitasi dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 120 juta dan paling banyak Rp 600 juta.

Kasus ini menjadi cermin bagi publik tentanh bahaya tindak pidana perdagangan orang yang masih marak terjadi di berbagai daerah, termasuk kota besar seperti Surabaya.

Kejahatan ini tidak hanya merugikan korban secara finansial, tetapi juga menyisakan trauma fisik dan psikologis yang mendalam. Sedangkan proses hukum yang berjalan tidak sesuai dengan harapan publik terutama para Korban, akan keputusan hukuman yang ringan bagi para terdakwa.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *