Mendidik Anak Usia 0-6 Tahun Ala Montessori, Ini Langkahnya

Kantor Berita Surabaya – Pada Usia 0 tahun sampai 6 tahun adalah usia emas (golden age) bagi manusia. Dr. Maria Montessori, pendidik dan dokter asal Italia ini meyakini, bahwa periode kehidupan yang paling penting adalah periode anak sejak lahir usia 0 tahun sampai 6 tahun.

Ini masa emas disaat mereka menyerap apapun yang ada di lingkungan sekitarnya. Saat rasa ingin tahunya sangat tinggi dan gemar bereksplorasi. 

Maka, pada rentang usia dini itulah proses pendidikan harus dijalankan secara benar, agar kelak dapat berkembang optimal. Lalu bagaimana pembelajaran model Montessori membersamai tumbuh kembang anak usia emas? 

Sekolah Alam Insan Mulia (SAIM) Surabaya menunjukkan jawaban itu melalui Workshop For Teacher dengan tajuk Pembelajaran Aktif dan Kreatif: Eksplorasi Metode Montessori, di SAIM Kampus 2 Jl. Keputih Tegal 54, Selasa (24/9).  

Acara kolaborasi SAIM dengan Montessori Haus Asia (MHA) ini menghadirkan pembicara Nurul Dzikrillah, S.T., M.T., Dipl Montessori, selaku Head Program MHA. Acara diikuti dengan antusias oleh puluhan guru dari berbagai sekolah di Surabaya dan ibu rumah tangga yang peduli pendidikan.

Dalam mengembangkan metode pengajaran untuk anak usia dini, Montessori berbasis kepada sejumlah prinsip dasar. Di antaranya prinsip hands on learning. Pada usia ini anak-anak belajar dengan menggunakan tangannya. Mereka belajar dengan benda konkret. Ada material yang dapat dipegang dan dilihat.

Maka diciptakanlah sejumlah media belajar dan alat peraga. Diantaranya untuk pembelajaran sensorik anak dibuatkan kartu warna. Satu set warna terdiri dari tujuh kartu bergradasi.  Contohnya untuk warna hijau ada warna hijau tua, hijau agak tua, hijau normal, hingga hijau muda.

“Tujuan pembelajarannya tidak hanya untuk mengenalkan warna hijau saja. Tetapi juga untuk menajamkan panca indera anak. Kita berikan kartu ini kepada anak-anak secara acak, tanpa diberi perintah apa-apa. Ajaibnya anak-anak ternyata akan menata sendiri urutan warna itu sesuai gradasinya,” ujarnya seraya menunjukkan alat peraganya.

Setelah itu anak-anak dapat diajak mengamati lingkungan di sekitar sekolah. Anak-anak bereksplorasi. Lalu  di antara mereka ada yang secara spontan berkata: ternyata hijau daun ini dengan hijau daun itu, berbeda, ya. ”Itulah proses pembelajaran. Karena pembelajaran yang sebenarnya adalah discovery, adalah penemuan,” katanya menyimpulkan.

Selain itu Nurul Dzikrillah juga menunjukkan alat peraga kayu dalam aneka bentuk silinder, mulai dari ukuran silinder besar yang pendek hingga silinder kurus dan tinggi.  Melalui permainan ini  anak secara tidak langsung berkenalan dengan konsep dimensi berupa bulat, tebal, tipis, tinggi, rendah dan lain-lain. 

Prinsip berikutnya adalah indirect preparation. Ini adalah cara Montessori untuk mempersiapkan anak untuk belajar sesuatu di masa depan melalui aktivitas yang dilakukan saat ini.

Untuk itu guru maupun orang tua hendaknya membantu mempersiapkan anak agar kelak menjadi berfungsi, siap hidup, dan berkepenuhan. Itulah buah dari pendidikan. 

Supaya hasil belajarnya optimal, perlu disiapkan lingkungan yang “kaya” (kondusif) dan orang tuanya harus mencerahkan.

Menurutnya, jika belum waktunya, anak kecil jangan langsung diajari calistung (membaca, menulis, berhitung), tetapi yang lebih penting adalah mempersiapkan prabaca, pratulis, dan prahitung. 

Kegiatan memegang pensil untuk menulis itu memerlukan sejumlah otot anggota badan dan koordinasi mata dengan tangan, anggota badan. Maka yang harus disiapkan adalah mengembangkan otot jari, otot lengan, pundak, dan leher terlebih dahulu.

“Caranya dengan bermain bergelantungan atau menangkap bola. Praktik mencuci pakaian, memeras baju, itu membantu mengembangkan otot tangan untuk persiapan anak belajar membaca dan menulis,” katanya.(*Sast).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *